Terorisme identik dengan kekerasan. Tindakan teroris menyebabkan keresahan, rasa takut di tengah masyarakat, melukai atau mengancam kehidupan, kebebasan, atau keselamatan orang lain dengan tujuan tertentu. Korban tindakan Terorisme seringkali adalah orang yang tidak bersalah. Mereka memanfaatkan media massa untuk mengekpos aksi teror yang mereka lakukan guna menunjukan eksistensi perjuangannya. Terorisme merupakan musuh dunia yang tidak mengenal batas wilayah dan undang-undang suatu negara yang dapat terjadi di negara manapun, tidak terkecuali di negara Indonesia tercinta.
Indonesia menjadi sasaran empuk bagi teroris untuk melaksanakan aksinya, tercatat dari rentang waktu tahun 2000 hingga 2018 sudah banyak Bom meledak di Indonesia, antara lain bom Bursa Efek Jakarta tahun 2000, Plaza Atrium 2001, hotel JW. Mariot 2003, di depan Kedutaan Australia 2004 dan bom Bali tahun 2005. Kejadian terakhir yang baru-baru ini terjadi yaitu serangan teror bom bunuh diri yang terjadi di tiga gereja di Kota Surabaya, Markas Polrestabes Surabaya, penyerangan di Polda Riau dan ledakan bom rakitan di Rusun Wonocolo, Sidoarjo, Jawa Timur.
Kejadian tersebut sangatlah memprihatinkan kita semua, banyak korban dari masyarakat yang tidak bersalah, dari data kepolisian menyebutkan, total korban tewas ada 25 orang baik dari terduga pelaku maupun warga. Jumlah korban tewas tersebut terdiri dari 18 orang di tiga gereja, di Rusunawa Wonocolo Sidoarjo tiga orang dan korban tewas bom bunuh diri empat orang di Poltabes Surabaya. Selain itu ada tiga orang yang ditembak petugas saat penyergapan. Sementara korban luka-luka baik dari warga masyarakat maupun petugas kepolisian berjumlah 57 orang dan kejadian tersebut menjadi head line media nasional maupun luar negeri.
Para pelaku teror menurut pihak kepolisian terindikasi sebagai sel-sel kelompok Jamaah Ansharud Daulah (JAD) atau Jamaah Ansharut Tauhid yang merupakan kelompok teroris sel ISIS di Indonesia. Selama ini, mereka mengklaim bahwa kegiatan yang mereka lakukan berjihad atas nama agama, mereka menyebut semua pihak yang diserang adalah sebagai kaum kafir. Tak cuma membunuh, kelompok ini juga sering melakukan propaganda seolah-olah apa yang mereka lakukan ada dalam ajaran agama Islam. Padahal, paham yang mereka anut bertolak belakang dengan ajaran Islam yang sebenarnya, Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi perdamaian dan keadilan, islam adalah agama Rahmatan Lil Alamin.
Kegiatan teroris di Indonesia saat ini sudah terlihat sangat nyata, terstruktur mereka terus bergerak membuat jaring dan sel-sel baru dengan merekrut anak-anak muda sebagai anggota. Mereka mendoktrin siap mati membela agama dengan dasar dalil-dalil yang disalah artikan, membenarkan kekerasan, menyerang membabi buta bahkan tidak ragu-ragu mengorbankan sanak keluarga dalam mencapai tujuan perjuangannya. Kalau hal ini tidak segera ditangani dengan tuntas maka dampaknya akan mengancam kerukunan antar umat beragama dan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
Dengan berkembangnya aksi terorisme di Indonesia yang semakin komplek tersebut aparat penegak hukum perlu miliki kewenangan yang cukup jelas, sehingga bisa mendeteksi, mencegah dan menggagalkan serangan teroris sejak dini. Kewenangan penindakan terhadap aksi terorisme tidak bisa dibebankan pada Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) saja namun perlu peran serta seluruh komponen bangsa termasuk TNI.
Terkait pelibatan TNI dalam menangani aksi terorisme, perlu adanya payung hukum yang jelas, revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang saat ini dibahas oleh DPR harus mengatur dengan jelas wewenang TNI agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaannya di lapangan.
Keterlibatan TNI dalam menanggulangi aksi terorisme sejalan dengan peran dan fungsi TNI sesuai UU TNI Nomor 34 tahun 2004. Dalam pelaksanaannya TNI akan membentuk Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) yang saat ini dalam proses pengajuan Peraturan Pemerintah sebagai payung hukumnya. Selanjutnya untuk menguatkan pembentukan Koopsusgab tersebut Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, S.I.P. akan mendorong pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah tersebut.
“Sehingga apa yang kita inginkan nanti dalam tindakan untuk menanggulangi aksi terorisme dengan satuan khusus ini benar-benar bisa efektif dan payung hukum yang tepat,” ujar Panglima TNI saat menghadiri rapat kerja dengan Komisi I DPR RI.
Panglima TNI menjelaskan bahwa sebelum ada Peraturan Pemerintah, TNI memiliki MoU dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam rangka Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, dimana TNI mem-BKO-kan anggotanya untuk menjaga keamanan, khususnya masyarakat luas.
“MoU tersebut adalah payung perbantuan TNI kepada Polri, sehingga apabila diperlukan saat ini dalam menanggulangi aksi teroris, TNI bisa mem-BKO Pasukan Khusus TNI di dalam kekuatan Kepolisian,” ungkapnya.
Didalam menangani aksi terorisme di Indonesia perlu adanya tindakan yang tegas, total dan berkelanjutan, namun tetap mengutamakan upaya pencegahan dari pada penindakan dan berpedoman pada nilai-nilai Hak Asasi Manusia, sehingga tidak timbul ekses yang tidak kita inginkan dikemudian hari.
Masyarakat berharap dengan disahkannya revisi undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut peran TNI dapat dilaksanakan secara optimal dan efektif untuk mencegah dan menindak jaringan teroris di Indonesia hingga tuntas.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam menanggulangi aksi terorisme di Indonesia antara lain:
pertama, mengoptimalkan peran serta orang tua untuk memberikan pemahaman agama yang benar sejak dini kepada putra-putrinya, hal ini dibutuhkan agar anak-anak memiliki bekal ilmu agama yang baik, dengan keyakinan agama yang baik generasi penerus bangsa tidak mudah terpengaruh oleh paham radikal yang mengarah pada aksi terorisme.
Kedua, mengoptimalkan peran tokoh agama, tokoh masyarakat dan tenaga pendidik dalam membantu pemerintah untuk mensosialisasikan kepada masyarakat luas terutama di sekolah-sekolah, di perguruan tinggi dan di ruang publik terkait bahaya terorisme dan dampak yang ditimbulkan bagi kelangsungan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Agar masyarakat luas memahami sehingga tidak terperangkap bujuk rayu teroris yang mengatasnamakan agama.
Ketiga, instansi terkait harus melaksanakan upaya kogkrit dan tegas untuk menutup konten-konten di media sosial yang digunakan jaringan teroris dalam menyebarkan ajaran-ajaran radikal. Karena saat ini mereka intens memanfaatkan media sosial untuk melaksanakan propaganda dan merekrut anggota baru.
Keempat, mengoptimalkan peran seluruh jaring intelijen yang ada guna menemukan sel-sel teroris agar dapat dideteksi dan dicegah secara dini terhadap kemungkinan teroris berkembang di Indonesia.
Kelima, mendukung dan memperkuat upaya program deradikalisasi yang dilakukan oleh BNPT, salah satunya dengan meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat khususnya tokoh agama dalam upaya pembinaan terhadap mantan teroris yang sudah kembali ke lingkungan masyarakat.
Keenam, media massa adalah “oksigen” bagi teroris untuk mengembangkan aksinya, untuk itu media massa hendaknya tidak mempublikasikan aksi terorisme secara berlebihan dan fulgar, sehingga dengan berita yang sedikit diharapkan dapat meredam aksi teror yang dilakukan jaringan teroris lainnya. Media massa harus berkomitmen untuk menjadi bagian dalam memerangi aksi terorisme itu sendiri.
Mari kita bersatu bergandeng tangan untuk menangkal faham radikalisme berkembang subur di Indonesia. Perlu kita ingat dalam sejarah masuknya agama Islam ke Indonesia dilakukan dengan cara damai melalui sosio kultural dan budaya, tidak dengan kekerasan. Sehingga, Islam yang ada di Indonesia bercirikan dengan kedamaian dan keramahan. Damai dan ramah tidak hanya berlaku pada sesama muslim saja, tetapi juga damai dan ramah bagi semua umat. Islam bukan teroris, teroris musuh bersama yang harus kita lawan.