Oleh ; (Esra K. Sembiring, S.IP, M.AP, M.Tr (Han) Alumnus Ilmu Pemerintahan UGM, STIA LAN dan UNHAN)
Beberapa hari belakangan ini media elektronik dan cetak tanah air kita sibuk menampilkan wawancara, diskusi, debat atau apapun istilah populer lainnya mengenai kondisi perkembangan nasional saat ini. Mulai dari perdebatan yang adem ayem sampai yang hangat bahkan hingga teriak dan bentakan saling sindir semakin biasa diperdengarkan. Bagi masyarakat awam tidak mustahil lama kelamaan dapat terhasut, terhanyut dan tenggelam tanpa sadar lalu menjadi semakin temperamental dibanding waktu sebelumnya.
Yang penting koment dulu !. Seperti berulangkali ditampilkan dan kemudian terulang lagi seolah menjadi contoh wajar perdebatan di TV, asal komen, asal bantah atau asal bela saja !, dan bila didebat dan diminta menunjukkan sumber datanya jawabannya diplintir lagi dan melantur lagi kemana mana.
Kenapa bisa ?
Kenapa dibiarkan ?
Kemana Para tokoh, para pakar, atau Akademisi yang seharusnya memang sudah pasti paling ahli dibidangnya ?. Apakah memang tidak dilibatkan ?. atau apakah tidak ada yang punya nyali meluruskan data dan fakta, mana yang fix dan mana yang hoax sesungguhnya ?.Atau memang kondisi ini sengaja dibiarkan untuk kepentingan tertentu yang terselubung lainnya.
Sepantasnya dalam perdebatan apapun yang bernilai strategis dan menjadi konsumsi publik apalagi berkaitan dengan kredibilitas institusi suatu pemerintahan / Negara, atau bahkan membahayakan integritas negara maka semua pendapat yang diajukan harusnya ada rujukan referensinya dan juga ada solusi nya, Bukan sekedar persepsi subjektif saja. Bukan pula tergantung pada seberapa keras “nyerocos” nya !. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila semua orang menjadi temperamental hanya karena situasi kondisi seperti ini dibiarkan berlarut-larut terus.
Temperamental yang bagaimana ?
Apakah meningkatnya kriminalitas yang terjadi belakangan tidak menunjukkan fakta sudah meningkatnya temperamental sosial saat ini ?, mungkin ia, dan mungkin juga karena ada faktor lainnya.
Lalu solusinya apa ?
Salah satu solusi awal yang layak dicoba terapkan dalam menghindari penggunaan data “hoax” pada perdebatan diskusi di media TV khususnya perdebatan yang menggunakan isu berbasis pada hukum maupun data statistik adalah dengan melibatkan kehadiran para pakar statistik dan pakar hukum yang kredibel dalam proses perdebatannya, sehingga “pemutar balikan” data atau menggunakan fakta (hoax) seperti yang marak dan terkesan dibiarkan dalam perdebatan di media TV belakangan ini dapat dihindari dan diakhiri sehingga tidak merambah kemana mana.
Tidak boleh ditolerir lagi. Kalau perlu kepada “siapapun” yang terbukti menggunakan data “palsu” atau fitnah pada perdebatan di media TV tersebut bisa dikenakan pasal yang berkaitan dengan “penyebaran berita bohong” dan harus dilanjutkan proses hukum nya supaya tidak terulang kembali dan menjadi masalah yang lebih besar lagi. Bukan seluruhnya dipasrahkan total kepada kemampuan moderator atau presenter acara debatnya saja.
Bila masalahnya menyangkut isu SARA maka potensial berkembang menjadi masalah besar apalagi bila disiarkan secara “Live” seperti yang saat ini trend.
Data dan Fakta yang sejuk tentang kekayaan dan keberagaman bangsa, maupun data dan fakta tentang pemilu seharusnya lebih urgen dan lebih sering disosialisasikan daripada data yang potensial meresahkan. Apakah masyarakat kita secara umum sudah mengetahui bahwa Pemilu bulan April 2019 nanti selain memilih presiden dan wakil presiden juga bersamaan dengan memilih anggota legislatifnya ?.
Apakah masyarakat juga sudah mengetahui jumlah kursi DPR, DPRD nya berbeda dibandingkan Pemilu 2014 lalu ?. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan adanya penambahan kursi DPR dan DPRD pada Pemilu 2019. Penambahan kursi DPR sebanyak 15 kursi.
Pada Pemilu tahun 2014 sebanyak 560 kursi dan pada Pemilu 2019 nanti meningkat menjadi 575 kursi. Selain itu alokasi kursi anggota DPRD provinsi juga bertambah sebanyak 95 kursi.
Sebelumnya pada pemilu 2014 total kursi DPRD sebanyak 2,112 kursi, sedangkan Pemilu 2019 jumlahnya bertambah menjadi 2,207 kursi. Penambahan jumlah kursi ini didasarkan pada meningkatnya jumlah penduduknya, sehingga alokasi kursi itu bertambah. Penambahan jumlah kursi juga terjadi pada tingkat kabupaten/kota bertambah sebanyak 715 kursi.
Sebelumnya pada tahun 2014 sejumlah 16.895 kursi, pada pemiu 2019 nanti bertambah menjadi 17.610 kursi. Diikuti oleh 16 partai yang bertarung diantaranya terdapat empat partai baru. Sebagai contoh, informasi resmi yang dikutip dari KPU seperti ini lah yang perlu lebih banyak disosialisasikan ditengah masyarakat daripada perdebatan isu persaingan sektarian dan sejenisnya. .
Manfaatnya untuk apa ?
Minimal sebagai pembelajaran awal bagi seluruh rakyat sehingga kemudian menimbulkan ketertarikan dan keperdulian untuk mengetahui informasi relevan pemilu yang berikutnya. Lama kelamaan rakyat menjadi “cerdas politik” sehingga tidak mudah dipolitisir para “avontourir politik” yang selalu hadir pada setiap perhelatan politik.
Salah satu catatan penting yang perlu kita pahami bersama, bahwa pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp24,8 triliun untuk penyelenggaraan Pemilu dan Pilpres 2019, naik 3 persen atau bertambah Rp700 miliar dibanding biaya Pemilu dan Pilpres 2014 lalu yang mencapai Rp24,1 triliun, salah satunya untuk keperluan meningkatkan kualitas pertahanan dan keamanan saat pesta demokrasi berlangsung di tahun 2019. Menko Polhukam Wiranto menjelaskan bahwa tantangan menjaga keamanan dan kestabilan negara saat ini semakin besar.
Apalagi, perkembangan pesat teknologi siber turut memicu banyak potensi gangguan keamanan, meningkatnya hoax, hate speech, ujaran kebencian yang membuat kegaduhan masyarakat, sehingga potensial menimbulkan instabilitas politik menjelang pemilu nanti.
Disinilah urgensinya.
Tanpa adanya polemik perdebatan di media TV saja masyarakat kita sudah sangat rentan terpengaruh dampak negatif teknologi siber (melalui berita hoax dan ujaran kebencian yang masih marak), apalagi bila masih dibumbui isu sektarian yang tidak jelas asal usulnya.
Kondisi seperti ini bila dibiarkan pada akhirnya dapat meningkatkan temperamental sosial individu / masyarakat hingga mencapai “titik nadir” nya sehingga potensial menimbulkan konflik sosial yang kontraproduktif bagi pembangunan bangsa untuk mencapai tujuannya dalam bingkai NKRI. Dengan demikian maka setiap upaya solusi yang ditawarkan untuk memperkuat pondasi / faham kebersamaan dalam keberagaman harus didukung dan lebih diprioritaskan daripada membangun faham kebersamaan dalam satu kelompoknya saja.
Fakta-nya melihara dan menjaga persatuan pada masyarakat yang heterogen seperti Indonesia jauh lebih sulit dan berat daripada memelihara dan menjaga persatuan pada masyarakat / negara yang homogen, yang hanya terdiri dari satu kelompok sejenis saja. Persatuan Indonesia pasti bisa diwujudkan selamanya bila dilakukan semua elemen bangsa secara sadar dan secara bersama-sama, tidak mungkin dilakukan hanya sebelah tangan saja.
( Dodik )