Catatan Ringan oleh Syafaruddin Usman
Covid 19 dengan persebaran virus Corona menjadi malapetaka dunia. Permukaan bumi sunyi senyap sepi. Dunia seakan muram kelam suram hitam.
Ibukota negara tak ubah kotamati. Siang dan malam sama saja, sepi senyap sunyi. Kota ini seakan mencari bunyi setelah sekian waktu berusaha sepi dan senyap sunyi dari kebisingan bunyi.
Namun Pontianak ternyata tak serupa itu.
Malam di sini masih serupa malam di hari dulu. Tak terlampau sepi, tidak dapat disebut kota mati. Namun, orang-orang saling ketakutan pada diri sendiri. Seakan kematian sedang menghampiri.
Sekalipun begitu, banyak juga yang menantang kematian yang dikatakan tengah menghampiri.
Masih saja malam seperti siang. Tak terlalu mengindahkan mereka yang bertarung dan bertaruh nyawa untuk kelanjutan hidup manusia di kota ini.
Di mana-mana aparat bersiaga. Bukan untuk sebuah peperangan, tapi buat kemanusiaan.
Sayangnya, banyak manusia yang ingkar. Tapi aparat tak putusasa untuk membawa manusia di kota ini ke dalam kehidupan yang normal.
Di sudut kota tua ini, malam tadi, juga malam sebelumnya, mungkin jadi esok malam lagi, masih banyak kerumunan orang yang tak hirau.
Apa yang mereka cari? Bukan beras, tak juga susu, ataukah lainnya, kecuali berkerumunan dan masih saja menganggap dunia sedang tidak apa-apa.
Selewat kedip mata malam tadi kulihat di kawasan yang dulunya lintasan elit Pontianak di masa kolonial, orang-orang berkerumunan mengingatkan pada tingkah laku sangat sedikit sinyo dan noni bule abad lampau di Kota Tanah Seribu ini.
Aparat pun sigap. Semua orang pun gagap. Dan kerumunan itu seolah gugup, padahal mereka memang tak demikian itu.
Mereka sudah tahu ada larangan. Namun tetap saja seakan tak pernah ada pengetahuan bahwa di bumi saat ini sedang tak ada kedamaian.
Semesta jagatraya tengah berduka, tapi orang-orang ini masih saja bercengkerama.
Siang kemarin, di pasar ikan, banyak orang berjejalan. Meski pulang tak bawa banyak belanjaan.
Kupikir mereka hanya setormuka atau tak afdal bila tidak ke pasar. Pun juga para anak usia belia, masih saja menantang maut: berpestapora dengan minuman kerasnya. Sampai-sampai corona pun jijik mendekatinya seketika.
Begitulah malam di Pontianak. Tak juga sunyi tapi tidak pula tak sepi.
Namun hatinurani banyak manusia lain diliput ketakutan. Mereka gundah, resah dan payah. Tantangan hidup menjadi kisah yang akan diceritakan kelak pada masanya ke anakcucu.
Memang kini orang seolah memandang, sebuah sejarah sedang tidak ada. Atau, malapetaka Covid 19 ini bukan sebuah riwayat. Kupikir jika mereka begitu, sangatlah keliru.
Terlihat olehku di malam tadi, aparat berjibaku untuk menyelamatkan banyak orang. Sekalipun orang-orang itu tak terima untuk diselamatkan. Nyatanya mereka tetap saja berkerumunan.
Dan di salah satu penjuru kota ini, anak-anak usia sekolah dasar, masih menganggap malam ini adalah tengah hari yang tak pernah ada kejadian.
Mungkin ayah bunda mereka terlupa mengingatkan di luar sana petaka sedang menganga. Dan kerumunan anak-anak itu pun berhadapan satu sama lain, saling memukulkan tinjunya. Mereka berkelahi.
Dikejauhan terdengar sirine aparat berkeliling kota, mereka pun berhamburan. Namun pasti malam ini mereka mengulang kembali.
Orang-orang riang ria di jalanan dengan bandelnya.
Tak ada jarak, padahal harus berjarak. Tidak ada tutup mulut yang dikenakan, padahal masker mereka kalungkan.
Bolehkah kukatakan mereka ini para penantang maut, atau para penjemput malapetaka?
Entah …
Sementara, nun di pojok lainnya di Pontianak ini, sekeluarga meringis menangis.
Gubuk reot diterangi lampu seadanya, menghitung waktu untuk bertahan hidup. Bukan saja di musim ini, tapi sejak sebelumnya. Mereka adalah orang-orang yang tak berkerumun, tak menantang maut, dan tidak mengenal lelah.
Mereka adalah orang-orang pinggir yang dalam keadaan susah, namun tetap saja bersyukur pada kehendak Tuhan.
Mungkin mereka sedang tertawa, seakan mengatakan, seperti juga dirinya, semua sedang menderita. Meski mereka ini tak ingin derita mereka abadi.
Begitulah kota ini sekarang. Seperti Negeri Padang Tekukur, kata orang tua-tua tempo doeloe. Negeri yang ramai tetapi sunyi. Damai tetapi gersang.
Di ruas jalan dengan bandel orang berkerumun buang duit untuk menikmati malam seolah tak mau dikatakan bukan kalangan maju dan elit.
Di sudut dan penjuru kota orang meringis menangis meratapi nasib dengan himpitan Covid 19 seakan mereka pemilik duka yang abadi, luka yang lestari.
Sayangilah diri, patuhilah pemimpin, ikutilah aparat, agar diri selamat.
Di rumah saja bukanlah menjadi alasan untuk tidak bisa berbuat banyak manfaat.
Lihatlah di luar sana, aparat bertarung nyawa bersabung jiwa. Mereka pun punya orang-orang dikasihi di rumah mereka, namun untuk semua jiwa, kepada yang dikasihi mereka pamit untuk memenuhi panggilan tugas …
(Pontianak, 27042020, 11.19)