Oleh : Esra K.Sembiring (Alumnus Ilmu Politik UGM, Magister Sumber Daya Aparatur LAN RI, Magister Pertahanan UNHAN)
Setelah beberapa bulan terakhir sempat diprediksi oleh beberapa pihak kondisi situasi nasional akan menjadi hangat bahkan menjurus panas akibat konsekuensi ketegasan pemerintah dalam penegakan hukum pelanggaran ketentuan Prokes PSBB, ternyata (sudah) terbukti terbantahkan. Justru sekarang terlihat semakin kondusif dan semakin damai.
Kewibawaan negara melalui institusi TNI-Polri membuktikan “dirinya” pasti selalu hadir ditengah masyarakat secara profesional tanpa membeda-bedakan dan tidak akan pernah takut dengan diksi-diksi ancaman mobilisasi “gerakan massa” yang sengaja ditiupkan oleh kelompok-kelompok penekan seperti modus yang selama ini rutin terdengar dan terlihat dilakukan agar pemerintah menjadi “keder” sehingga mengurungkan niat tegasnya. Masif terdengar berbagai tekanan melalui cipta kondisi, cipta opini maupun diksi sinistis yang digumamkan oleh berbagai jenis oknum melalui berbagai media sebagai ketidaksetujuan terhadap pilihan kebijakan tegas politik pemerintah ini.
Benarkah ada pihak yang “getol” berupaya menimbulkan kegamangan pemerintah untuk menegakkan aturannya ?.
Kita semua menyadari situasi kemajemukan bangsa juga bisa melahirkan kemajemukan pemikiran, dan dalam negara yang demokratis seperti Indonesia hal ini memang dibenarkan dan dijamin dalam undang-undang. Namun tentu kita semua juga sepakat bahwa hasutan atau ujaran kebencian yang menimbulkan perpecahan tidak termasuk dari kebebasan berpendapat yang dijamin didalamnya ini.
Benarkah demikian ?.
Sebagai kilas balik, Berbagai negara besar yang mayarakatnya majemuk sudah pecah menjadi beberapa negara kecil karena ketidakmampuan pemerintah-nya dalam menjembatani perbedaan diantara masyarakatnya yang majemuk. Memang, seperti yang lumrah terjadi dalam setiap kontestasi perebutan kekuasaan, selalu saja ada oknum yang nekat menggunakan isu perbedaan kemajemukan identitas dalam kompetisi politik untuk meraup suara pemilih karena menyadari ketidakmampuannya dalam berkompetisi ide secara profesional melalui visi dan misi yang ditawarkannya.
Di sisi yang lain harus diakui juga bahwa saat ini masih ada sebagian masyarakat kita yang masih awam atau bahkan tidak memahami politik sama sekali. Masih ada yang mudah terpengaruh sentimental primordialisme emosional semata. Apapun makannya yang penting minumnya teh botol……. (seperti motto iklan produk tetentu). Disinilah tantangannya, selama stereotif primordialisme seperti ini belum mampu dinetralisir secara bijak maka selama itu pula politik identitas masih laku dimanfaatkan.
Disinilah peran kaum elit, tokoh masyarakat, cerdik cendikiawan dibutuhkan dalam mendewasakan masyarakat sehingga bisa selalu sepaham dan sepakat mengesampingkan jargon identitas dalam mencapai cita-cita besar bangsa Indonesia yang diperjuangkan bersama-sama kemerdekaannya oleh semua anak bangsa bumi pertiwi ini.
Penutup
Menjelang memasuki tahun 2021, semua kita generasi penerus bangsa ini harus lebih berani bersikap dalam mendukung sikap pemerintah yang tegas dan keras dalam mengatasi pendemi covid 19 ini. Tidak boleh ada yang menjadi ragu bersikap bila untuk keselamatan dan kelangsungan hidup bangsa ini. Mungkin ini hanyalah jawaban klise bagi solusi polemik saat ini.
Ternyata sekarang menjadi lebih damai.