Oleh : Jerry Indrawan, S.IP, M.Si (Han).
Dosen FISIP UPN Veteran Jakarta dan Alumni Universitas Pertahanan
Dua minggu menjelang Lebaran lalu, publik dihebohkan dengan isu revisi UU TNI No 34 tahun 2004 yang katanya harus jadi sebelum masa reses DPR hari Jumat 21 Maret 2025, yang ternyata juga menjadi awalan cuti bersama hari raya.
Pertanyaan pertama, apakah revisi UU ini buru-buru harus disahkan karena ada muatan politis atau sudah “kebelet” mudik? Walaupun akhirnya kita sama-sama tahu bahwa RUU tersebut sudah disahkan sebagai UU ditengah masifnya penolakan publik.
Dari tiga pasal yang akan direvisi, saya tertarik melihat revisi Pasal 47 dari perspektif yang berbeda dari kebanyakan. Menurut Pasal 47 ayat (2) UU TNI, anggota TNI aktif hanya boleh menjabat di 10 Kementerian dan Lembaga (K/L) sipil tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun.
Namun dalam revisinya, pemerintah dan DPR sepakat untuk menambah enam K/L yang bisa dijabat oleh perwira TNI aktif, yang dianggap masih memiliki keterkaitan dengan fungsi-fungsi TNI. Pertanyaan kedua, memang terkait secara politis atau memang ada nuansa ancaman di sana?
Sekuritisasi
Dalam studi keamanan kita mengenal istilah “Sekuritisasi” (Waever, 1995). Konsep sekuritisasi membahas bagaimana sebuah masalah ditransformasikan oleh aktor-aktor sekuritisasi menjadi sebuah masalah keamanan. Bahkan menurut Buzan, keamanan tidak hanya soal militer, tetapi juga soal kekuasaan. Hal ini karena sekuritisasi adalah versi ekstrim dari politisasi yang memungkinkan digunakannya cara-cara yang luar biasa atas nama keamanan.
Katakanlah dari enam K/L tambahan tadi, BNPT misalnya, muncul ancaman yang mengancam negara, maupun manusia di dalam negara tersebut. Ancaman terorisme sudah pasti mengancam keduanya. Lalu, BNPB.
Banjir di Bekasi pada awal Maret ini saja sudah hampir membuat Jakarta lumpuh. Bagaimana jika terjadi secara massif di seluruh nusantara? Bukankah itu juga ancaman holistis bagi negeri?
Intepretasi sempit dari keamanan memang hanya berfokus pada negara dan pertahanannya dari serangan militer negara lain, akan tetapi, mazhab Kopenhagen menekankan bahwa keamanan adalah soal bertahan hidup (survival).
Oleh karena itu, masalah keamanan sangat terkait dengan ancaman yang ada (eksis), termasuk masalah-masalah non-militer. Mazhab ini memperluas konsep keamanan menjadi lima kategori, yaitu keamanan militer, lingkungan, ekonomi, masyarakat, dan politik.
Dinamika dari masing-masing kategori ini ditentukan oleh aktor sekuritisasi yang berprinsip bahwa negara menjadi objek utama yang harus diamankan (referent object), dan secara terang-terangan “terancam” (Buzan dan Weaver, 2003).
Aktor sekuritisasi adalah pemimpin politik (pemerintah) sedangkan referent object adalah sesuatu yang terancam dan memiliki hak legitimate untuk bertahan hidup. Menariknya pandangan Buzan & Weaver di sini, yaitu sebuah “masalah” bisa disekuritisasi apabila aktor sekuritisasi yakin bahwa masalah tersebut dapat menjadi ancaman nyata terhadap referent objects di atas.
Mereka melakukan sekuritisasi terhadap sebuah isu dengan menyambungkan adanya ancaman dengan keberlangsungan hidup dari referent object tertentu.
Bergesernya Ancaman Militer
Itu sebabnya saya melihat revisi UU TNI, khususnya Pasal 47, dibuat berpedoman pada ancaman keamanan tersebut, yang saat ini lebih banyak terjadi secara non-militer. Ancaman non-militer ini dapat berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan informasi, serta keselamatan umum, yang dinilai dapat membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan pastinya keselamatan rakyat.
Perubahan lingkungan keamanan sudah bergeser dari lingkungan eksternal menjadi lingkungan domestik. Perubahan sifat ancamannya pun menjadi non-militer. Negara alhasil harus merespon dengan kekuatan militer karena instrumen sipil memerlukan dukungan militer menghadapi ancaman non-militer yang terjadi di ranahnya.
Saat itulah pemerintah menerapkan kebijakan sekuritisasi, bukan politisasi seperti yang banyak dituduhkan.
Revisi UU ini tidak dibuat terburu-buru, malah sangat terlambat, seperti judul tulisan ini. Seharusnya UU Keamanan Nasional dibuat terlebih dahulu untuk menjadi UU payung untuk mendefinisikan apa itu ancaman.
Pemahaman komprehensif tentang ancaman membuat argumen sesat bahwa ancaman hanya terjadi kalau perang saja akan tereliminir dengan sendirinya.
Dengan demikian, publik akan paham bahwa revisi UU TNI dilakukan karena pergeseran ancaman militer, bukan pergeseran penguasa.
Militer profesional harus mampu memetakan ancaman modern.
Ancaman modern sekarang menguasai sektor sipil karena lebih mudah “menyerang” masyarakat dibanding perang melawan tentara.
Nuansa ancaman di sektor sipil sudah genting sehingga revisi UU TNI ini sudah selayaknya buru-buru diketok palu, bukan karena buru-buru mau liburan.
Sudah saatnya bangsa ini move on dengan mengubur jauh-jauh terminologi dwi fungsi ABRI. Kehadiran militer di ranah sipil, yang itu pun masih terbatas, bukan “cawe-cawe” politik, tetapi dibutuhkan untuk menghadirkan rasa aman dari ancaman.
Kebijakan pembangunan instrumen militer (termasuk UU) akan diarahkan menuju pada kebijakan keamanan yang memfokuskan pada pembangunan manusia yang berkelanjutan, bukan usia yang dilanjutkan.
Tentara yang baik adalah tentara yang tidak berdemokrasi, tetapi memastikannya berjalan baik. Sekalipun revisi ini dikebut karena sudah ngebet liburan, ancaman bagi bangsa dan negara tidak pernah libur. Setelah 20 tahun, UU TNI sudah sepantasnya direvisi, walau sudah sangat terlambat. Better late than never!.(*)
Editor : Red MPK